REFORMATANEWS.COM, Jakarta - Sekolah Tinggi Teologia Bethel Indonesia (STTBI) menyelenggarakan Talks Show Bertajuk: Merajut Kebersamaan dan Kebhinnekaan dalam rangka menyambut mahasiswa Pascasarjana Tahun 2022, di ruang STTBI Petamburan, Jakarta Pusat, Jumat (3/09/2022) menampilkan narasumber Dr. Gernaida Kr. Pakpahan dan Yulius Aris Widianto. Kegiatan ini diikuti mahasiswa pascasarjana secara daring.
Dalam paparannya, Dr. Gernaida Kr. Pakpahan mengungkapkan bahwa kebhinnekaan itu bicara keanekaragaman. Bicara Nusantara bicara kesatuan pulau (tanah) dan air. Semua pulau didiami suku dengan bahasa masing-masing. Maha Pencitpa telah menetapkan Indonesia dalam kebhinnekaan. Ada satu cocok dengan Oikumenis. Jangan-jangan seolah oikumene itu milik gereja bukan milik Indonsia.
“Gereja harus keluar dari panggungnya, gereja harus bagian integeral bangsa. Hadir hanya di tembok-tembok gereja, tapi lebih luas yakni kebangsaan,” paparnya.
Kerajaan Allah dalam gereja Not the only nation but all nation. Tugas gereja memberitakan Injil ke seluruh bangsa, tidak hanya bangsa besar saja. Gereja itu kebhinnekaan. Gereja tidak memandang ras, gender dll. Gereja tidak bisa alergi, gereja menghadirkan dalam apa yang dikatakan Alkitab terhadap bangsa.
“Saya takut kita terjebak masih berpikir feodalistik. Kepemimpin satu bawa gerbong sendiri, ini kegagalan pemimpin, belum tentu the right man in the right place. Ini membawa dampak negatif kebhinnekaan.”
Contoh, Yusuf the only one di Mesir tapi dia bisa merancang yang baik ke Mesir. Ia bergerak. Bagaimana seorang tawanan menjadi pemimpin di bangsa asing. Pemimpin lain Daniel, Sadrach.
Gereja kalau tidak berubah bisa digilas zaman. Tidak mau mengalianiasi diri. Isu transpormasi sudah 10 tahun tapi apa hasilnya sekarang?
Yang hilang, pertama solidaritas persaudaraan. Hanya dalam kata-kata tidak praktek nyata. Kita sedang merusak kemanusian lain dengan hoaks, bullyng, merusak alam dsb. Kenapa ada politik identitas karena tidak peduli yang lain.
Berikutnya, integritas dan kejujuran. Rusak sendi bangsa. Ada sisa perhambaan yang melekat di bangsa ini. Keberanian bicara yang jujur. Ketika hadir di pemerintahan harus tunjukkan integritas.
Masih klaim mayoritas dan minoritas. Identitas kebabgsaan itu membawa kasih, rahmat dan shalom. Apa yang hilang. Relasi harmonis antara diri dengan Tuhan, sesama, alam. Ini yang rusak. Kita tidak shalom diri kita sendiri.
STTBI hadir lembaga pendidikan, tujuan memanusiakan manusia. Hadir membawa warna kebhinnekaan. Kedua, STTBI ini rumah bersama bagi seluruh stokeholder. Bagian dari integral bangsa Indonesia. STTBI adalah laboratorium kebhinnekaan.
Demikian halnya Yulius Aris Widianto bicara kebhinnekaan bicara Indonesia yang beragam. Inspiring Sutasoma, bicara kebhinnekaan di situ ada sumbangsih anak muda.
Sepakat mendirikan negara maka disepakati negara bangsa. Ironisnya perbedaan sekarang sudah kondisi akut. Tahun 45 atau 28, sepakat meletakkan primordialis, menjadi keindonesia. Spirit Pancasila adalah kebhinnekaan. Bicara Indonesia kitab suci Pancasila.
Tergelitik orang Kristen, ketika ada membangun identitas berbeda, kita tidak berusaha menjembatani.
Tempat pelayanaan bukan hanya mimbar gereja, tapi seluruh Indonesia. Gereja tidak rahmat bagi sesama. Dalam mimbar masih bicara sesat, harus merubah pradigma.
Kita dicipatakan Indonesia apa yang kita lakukan, kita harus berinteraksi dengan seluruh anak muda. Kita harus keluar untuk berbuat. Kita harus merubah pradigma misalnya diakonia hanya saat bencana. Penting merubah pradigma jangan merubah identitas, itu yang dilakukan Yesus ketika bertemu Samaria. Makanya pendekatan transpormatif bukan karikatif.
Demokrasi harusnya afirmasi dan oposisi. Membutuhkan kedewasaan berorganisasi. Harus ada orang berani menyuarakan institusi kita melenceng. Dalam konteks Indonesia ada menyuarakan ganti Pancasila, dll harus bergerak untuk memperjuangkan.
Saya sepakat yang hilang adalah persatuan dan persaudaraan dalam bangsa kita. Yang ditonjolkan identitas. Identitas tidak melekat kepada tubuh tapi ke prilaku. Kalau yang lain membawa politik identitas tapi gereja tidak berlaku sama, tetap mengoptimalkan persaudaraan. Secara formal sudah ada tapi Implementasinya belum. Kita kerja bukan hanya internal, user kita Indonesia.
Kita dinamis dalam manispestasi tapi tidak perubahan pradigma. STTBI harus kerja keras untuk itu, talks show ini satu langkah baik.
Sebelumnya Dr. Kiki Sadrach selaku Ketua Seminari STTBI dalam sambutannya, mengatakan bahwa pilihan mahasiswa bergabung di STT ini sangat tepat, karena STT ini bagian seminari salah satu yang terbaik di Indonesia, baik sisi pendidikan dan kualitas. STTBI saat ini sudah sangat baik.
Pembumian Sifat Gotong Royong Kebhinekaan Menjadi Fokus Pimpinan STTBI
Diakhir acara para pimpinan STTBI mengadakan tanya jawab dengan awak media yang diundang. Terkait kasus kasus intoleransi yang marak terjadi di Indonesia, mengingat wilayah Petamburan masuk katagori jalur merah menurut FKUB DKI dan Kapolda Metro Jaya tapi anehnya STTBI selalu dalam kondisi aman dan terkendali. Salah satunya adalah pembumian sikap gotong royong dengan warga sekitar demikian halnya jika terjadi banjir STTB juga berbagi kasih demikian penjelasan dari para pimpinan.
Menanggapi munculnya radikalisme, menurut Ketua STTBI Dr. Frans Pantan tidak bisa dihindari karena itu STTBI konsisten mengedukasi warga kampus agar jangan terjebak di sana. Penting pencerdasan seluruh warga gereja untuk melawan isu-isu radikalisme.
“Saya kira intinya chance pradigm dengan memberi pengertian terkait kemajemukan dan bhinneka itu sudah final. Sama dengan interdominasi gereja dalam gerakan oikumenis,” paparnya.
Apa dilakukan hari ini, permulaan yang bagus, memberikan perhatian konsep kebangsaan, bahwa bicara bhinneka, maka Kristen itu pasti bhinneka.
“Kita perlu merawat okumenis, saling memberi ruang dengan lain, bertumbuh berkembang bersama. Perbedaan itu adalah kekayaan. Saya sudah mengunjungi beberapa negara dan Indonesia tidak kalah dengan bangsa lain di dunia terkait hal,” imbuhnya.
Menarik disampaikan Dr. Andreas Budi Setyobekti terkait kebhinnekaan bahwa di Magister Theologia STTBI mengajarkan mata kuliah Spirit Pentakosta. Spirit ini menghidupi nilai dan penerapan di masyarakat. Bukan hanya di gereja, nilai itu ada toleransi.
“Jadi ketika banjir di lingkungan sekitar kampus, kita langsung terjun membantu merupakan bagian dari spirit pentakosta,” kata Ketua Program Studi Magister Theologia ini.
Selain itu, kata Andreas, ada juga mata kuliah Theologia Kontemporer, di sana belajar semua theologia Kristen dan juga di luar Kristen. Kita juga akan melibatkan agama lain.
Senada dengan itu, Dr. Johni Hardori selaku Ketua Program Studi Magister Pendidikan Agama Kristen (PAK) mengungkapkan bahwa Magister PAK menawarkan mata kuliah Theologia Sistimatika Pentakosta. Diajarkan kenapa ada pentakosta? Di sana Holiness Movement namun cenderung eksklusif. Ini jadi tantangan karena Yesus Pentakostais namun kenyataannya inklusif, merangkul semua manusia.
“Maka dalam bertheologia Pentakosta harus inklusif dan terbuka, menjangkau semua suku bangsa,” bebernya. STTBI juga menjangkau dengan terlibat kerja-kerja bakti. Tidak eksklusif dan bergaul dengan semua kalangan.
Tidak jauh berbeda dengan sejawatnya, Dr. Susana Khatrine selaku Ketua Program Studi Magister Pastoral STTBI menekankan bahwa prodi yang dipimpinnya konsisten mengedukasi pelayanan pastoral di tengah masyarakat majemuk
“Tujuan cakap pelayanan pastoral untuk semua pelayanan gerejawi, tidak hanya gereja tapi juga masyarakat umum. Terjun praktek langsung ke masyarakat untuk melatih diri melayani secara personal. Praktek pelayanan pastoral seperti Lapas, RS, Klinik dan lainnya,” jelasnya. Intinya penting beradaptasi membawa terang Kristus.
Sebelumnya di awal, Dr. Kiki Sadrach selaku Ketua Yayasan STTBI dalam sambutannya, mengatakan bahwa pilihan mahasiswa bergabung di STTBI ini sangat tepat, karena STT ini bagian salah satu yang terbaik di Indonesia, baik sisi pendidikan dan kualitas. Tujuan STTBI adalah mendukung pelebaran gereja-gereja GBI di Indonesia. Saat ini ada ribuan Gereja Bethel di Indonesia dan juga terdapat di 20 negara di seluruh dunia.
“Kalian ini, kelak akan menjadi salah satu pemimpin gereja, baik sekarang dan di masa depan,” pesannya.
Ketua STTBI Dr. Frans Pantan juga mengucapkan selamat bergabung bagi seluruh mahasiswa pascasarjana STTBI. Saat ini saat tepat, untuk memasuki seminari STTBI. Pihaknya berjanji akan memberikan layanan terbaik ke seluruh mahasiswa pascasarjana dan sarjana.
“Kampus ini tempat strategis, mahasiswa berasal dari sosial dan budaya memang berbeda. Harus menjungjung kebhinnekaan,” ungkapnya sembari berjanji akan secara berkala membahas topik-topik terkait kebangsaan dan kebhinnekaan dengan mendatangkan pemateri dari luar Kristen.
Secara aspek Kristen merespon tugas Amanat Agung dengan memegang teguh kebhinnekaan dengan tujuan merawat persatuan. Kekuatan STTBI bagaimana membangun sebuah relasi, banyak bersentuhan dengan yang lain, dan saling bantu dengan masyarakat sekitar kampus.
Related Posts: