REFORMATANEWS.COM, Jakarta -Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI) menyelenggarakan Seminar Kebangsaan bertajuk: “Membangun Karakter dan Memperkokoh Kedaulatan Bangsa serta Menegakkan Keadilan Melalui Toleransi Beragama Menuju Indonesia Emas” bertempat di Gereja Immanuel, Gambir, Jakarta Pusat, 25/08/2023. Acara ini bagian dari rangkaian menyambut kegiatan Dies Natalis Ke-60 PIKI bulan Desember 2023, Peringatan HUT NKRI Ke-78 Tahun 2023 dan HUT Ke-184 Gedung Gereja Immanuel Jakarta, serta persiapan Pemilu Serentak Tahun 2024, dengan penyelenggara Panitia Nasional Dies Natalis Ke-60 PIKI bersama DPD PIKI DKI Jakarta dan Gereja Immanuel Jakarta.
Hadir sebagai Keynote Speaker, Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof. Dr. Drs. Karjono Atmoharsono, S.H., M.Hum, bersama Prof. Dr. Musdah Mulia, MA., APU., Ketua Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Pdt. Prof. John A. Titaley, Th.D., Tokoh & Akademisi Kristen/GPIB. Seminar ini dimoderatori oleh Pdt. Abraham Ruben Persang, Ketua Majelis Jemaat GPIB Immanuel Jakarta.
Ketua Umum Persatuan Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI), Dr. Badikenita Putri Sitepu, S.E., S.H., M.Si., yang didampingi oleh Sekretaris Jendral PIKI, Pdt. Audy WMR Wuisang, M.Si. beserta jajaran DPP PIKI, dalam sambutannya menyampaikan kesiapan dan komitmen PIKI untuk terus berpartisipasi dalam menghadapi berbagai permasalahan bangsa. Melalui Seminar Kebangsaan ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan keberanian umat Kristiani khususnya dan masyarakat umumnya untuk terus menghidupkan Pancasila dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika dengan semangat toleransi sebagai satu Indonesia yang berdaulat. Toleransi beragama berbasiskan Pancasila adalah bentuk keadilan yang nyata sebagai salah satu kunci utama mewujudkan Indonesia Emas. Selanjutnya, PIKI juga berkomitmen memberi perhatian pada berbagai kebijakan diantaranya penyaluran APBN dalam rangka meningkatkan daya saing daerah hingga global melalui berbagai kajian-kajian strategis, turut mengawal pelaksanaan perpindahan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan turut mensukseskan Pemilu 2024 mendatang melalui berbagai partisipasi konstruktif demi terselenggaranya Pemilu yang berkualitas. Pemilu yang Damai, Jujur, Adil dan Transparan.
Dalam paparannya, Wakil Kepala BPIP, Karjono Atmoharsono mengingatkan kembali makna penting kesejatian Pancasila dan Keberagaman sebagai kekayaan bangsa. Pancasila sejatinya adalah Titik Temu dalam mempersatukan keragaman bangsa Indonesia. Karjono menjelaskan bahwa toleransi adalah salah satu hal utama dalam memperkokoh karakter kebangsaan yang harus dimulai dari usia muda melalui jalur pendidikan. Dengan membangun karakter bangsa akan memperkokoh kedaulatan bangsa. Untuk itu toleransi dapat diwujudkan melalui saling menundukkan diri untuk sama-sama menghormati, menjunjung tinggi Ketuhanan Yang Maha Esa. Esa itu tunggal, Esa itu Persatuan, Esa itu Kesatuan. Kesatuan ini harus sama-sama junjung tinggi. Lebih lanjut Karjono memberikan contoh tentang betapa luar biasanya kekuatan toleransi. Misalnya, di area Masjid Istiqlal dengan Gereja Katolik Katedral di Jakarta, terdapat lorong bersama yang menyatukan keduanya. Kemudian Gereja Martha di Berlin, Jerman, menjadi lokasi Salat Jumat umat Muslim dikarenakan keterbatasan ruang. Lalu, Gereja Katedral Nasional Washington, Amerika Serikat yang juga menjadi lokasi Salat Jumat umat Muslim di sana. Di sisi lain di zaman Nabi Muhammad SAW, Masjid Nabawi pernah menjadi tempat untuk kebaktian umat Kristen. Lalu, Masjid Darussalam di daerah Cempaka Baru, Kemayoran Jakarta, juga pernah menjadi tempat kebaktian umat Kristen. Kondisi seperti ini adalah contoh toleransi beragama yang harus sama-sama dijunjung tinggi. Dari cerita tersebut, Karjono mengingatkan: Kenapa rumah ibadah harus dihancurkan? Hal tersebut adalah pertanyaan mendasar yang harus didalami bersama.
Di Era Demokrasi, Organisasi Kemasyarakatan dan Keagamaan juga berfungsi sebagai Benteng Pancasila, lingkungan organisasi yang menjadi tempat untuk memperkuat dan/atau mempertahankan ideologi, dasar negara dan falsafah bangsa negara dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai Benteng Pancasila, organisasi kemasyarakatan haruslah bercirikan organisasi yang humanis, ramah akan perbedaan, menjunjung tinggi toleransi, kebersamaan dan kekeluargaan, menjunjung tinggi Tuhan Yang Maha Esa, serta semangat gotong royong.
Prof. Musdah Mulia secara khusus menyoroti bagaimana Memperkokoh Semangat Kebangsaan Melalui Penguatan Literasi Masyarakat. Sumpah Pemuda, merupakan momen penting pembentukan bangsa Indonesia, yang dideklarasikan kaum pemuda (milenial) dari berbagai latar belakang suku bangsa: Jong Java, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Islam, Jong Sumatera dan Jong Celebes. Mereka tidak membangun suatu bangsa berdasarkan suku bangsa mereka masing-masing, melainkan satu bangsa Indonesia dari keberagaman suku bangsa dalam suatu ikrar bersama. Selanjutnya momen monumental pidato Bung Karno pada Sidang BPUPKI 1 Juni 1945 turut mempertegas bagaimana semangat kebangsaan tidak bisa tidak, adalah hal yang absolut, “Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia yang bersama-sama menjadi dasar suatu nationale staat”.
Dalam konteks Indonesia sebagai Negara Demokrasi Hukum, Musdah Mulia juga mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi bukan teokrasi. Demokrasi, adalah esensial bukan sekedar prosedural; Pluralisme adalah pilar penting dalam demokrasi, yang menegaskan Negara Indonesia berbasis hukum, bukan berbasis agama, sehingga ajaran agama cukup menjadi landasan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Prof. Musdah Mulia menjelaskan pentingnya karakter bangsa Indonesia benar-benar harus sesuai dengan Nilai-Nilai Pancasila dengan memiliki sikap spiritualitas yang terlihat dalam bentuk budi pekerti luhur dan akhlak mulia (integrity and piety), memiliki empati kemanusiaan (humanity), berpihak pada upaya penegakan HAM, terutama bagi kelompok rentan, memiliki kepedulian untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, rekonstruksi budaya damai (peace culture) melalui penguatan literasi masyarakat (keagamaan, kemanusiaan, kebangsaan, lingkungan dan digital), haruslah dengan mengedepankan Sistem Pendidikan yang fokus pada nilai-nilai kemanusiaan berbasis Pancasila. Selanjutnya, penting melakukan melakukan Reformasi UU dan kebijakan publik yang mengandung unsur diskriminasi agama, etnis dan ketidakadilan gender dan reinterpretasi ajaran agama agar tersosialisasi ajaran agama yang humanis sesuai prinsip moderasi beragama.
Akademisi Kristen dan Tokoh GPIB, Prof. John A. Titaley, Th.D., secara lugas mengkritisi Politisasi Agama sebagai sumber penjajahan baru. Memulai paparannya, Prof. John Titaley menceritakan kisah percakapannya dengan Sekretaris Majelis Besar Agama Kaharingan (MBAHK) di Palangka Raya beberapa waktu lalu, yang mengatakan bahwa sebelum Indonesia Merdeka, orang-orang Dayak yang beragama Kaharingan telah ikut berjuang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Setelah Indonesia Merdeka, Kaharingan tidak termasuk agama yang diakui negara, kecuali menjadi Agama Hindu Kaharingan. Kebijakan negara dalam bidang keagamaan telah mencabut status kemanusiaan mereka. Ini betul-betul bentuk kekerasan negara atas warga negaranya, karena politsasi agama yang dilakukan negara atas warganya yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Negara telah melanggar Alinea Pertama Pembukaan UUD 1945, yang menyatakan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”.
Prof. John Titaley mengingatkan kembali tentang keberadaan Hukum Sebagai Acuan Kehidupan Manusia. Menjadikan hukum sebagai dasar dan acuan kehidupan manusia dalam negara demokratik sebagai negara hukum, adalah pilihan yang tepat bagi bangsa Indonesia. Indonesia adalah negara-bangsa modern yang pluralis, menuntut penyesuaian dari komunitas-komunitas agamawi yang monolitik dan eksklusif itu. Pilihannya cuma satu, menjadi pluralis dan inklusif berdasarkan hukum. Dibentuk dari bangsa-bangsa yang merdeka satu atas yang lainnya, menuntut beberapa tahapan berikut, yaitu: Kejelasan filosofinya yang meliputi sumber dan norma, Penjabaran sumber dan azas secara tegak lurus, Ketegasan penegakkan hukum yang imparsial, Perelevansian hukum secara berkala, Ketidakselarasan tahapan itu akan berakibat gagal hukum dalam Masyarakat yang dapat berakibat fatal. Itulah Indonesia per 17-18 Agustus 1945, negara yang didirikan berdasarkan kesepakatan.
Turut diundang dalam acara ini berbagai tamu undangan yang berasal dari unsur Pemerintah DKI Jakarta, Organisasi Cendekiawan: ICMI, ISNU, ISKA (Katolik), Hindu, Budha, Khonghucu, dan berbagai Lembaga Keumatan Kristiani seperti PGI, KWI, PWKI, PGLII, Bala Keselamatan, Majelis Sinode GPIB, GMAHK, Gereja Ortodoks Indonesia, kemudian organisasi Pemuda dan Mahasiswa Kristen: GAMKI, GMKI, GSKI. Unsur Perguruan Tinggi seperti UKI, STFT Jakarta, Ukrida, dan Lembaga Sosial Masyarakat: YLBHI, Kontras, Wahid Institute, Gusdurian Academy.
Ketua Panitia Penyelenggara DPD PIKI DKI Jakarta, Pdt. Pdt. Henry B. Jacob menyampaikan sebagai bagian dari bangsa Indonesia, umat Kristen meyakini Kemerdekaan adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, sehingga menjadi kewajiban bagi setiap umat Kristen memberikan yang terbaik untuk bangsa dan Negara, dan harus terus berkontribusi menghadirkan semangat saling menghargai dan menghormati antar umat beragama. Turut juga hadir memberikan sambutan yakni Pnt. Daniel Laotongan, Ketua I, mewakili PHMJ Gereja Immanuel Jakarta.
Dalam sambutan penutup, Ketua Panitia Nasional Dies Natalis ke-60 PIKI, Abetnego Panca Putra Tarigan menyampaikan apresiasinya kepada BPIP dan seluruh Narasumber, DPD PIKI DKI Jakarta dan Gereja Immanuel Jakarta serta setiap pihak yang telah berpartisipasi demi terselenggaranya acara ini. “Seminar Kebangsaan ini, mengingatkan kembali peran dan kontribusi umat beragama untuk terus membangun negara dalam semangat kesetaraan, toleransi dan kebersamaan,” terang Abetnego yang juga adalah Wakil Ketua Umum DPP PIKI dan Deputi II Kepala Staf Kepresidenan (KSP) RI.
***
Related Posts: