REFORMATANEWS.COM, Jakarta - Bagi saya, selain Bung Karno yang merupakan sumber inspirasi yang tak ada habisnya dalam berpolitik, salah satu tokoh lain yang saya kagumi adalah Amir Sjarifuddin, salah seorang pejuang kemerdekaan yang pernah menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia. Begitu kuat apresiasi saya terhadap para pejuang yang ikut membebaskan negeri ini dari penjajahan. Pernah sewaktu sedang melakukan kunjungan ke Solo, saya pergi berziarah ke makam Amir Sjarifuddin. Saat itu hari Minggu saya kebaktian di sebuah gereja di Solo. Setelah kebaktian, saya mendengar sebagian jemaat di sana punya rencana untuk berziarah ke makam Amir Sjarifuddin. Saya memang sudah mendengar tentang adanya makam bung Amir di Karanganyar dekat Solo, tapi saya tak pernah ke sana. Karena itu saya tertarik untuk ikut rombongan jemaat tersebut. Sayangnya, mereka baru akan berziarah esok harinya, padahal saya esok sudah harus kembali ke Jakarta. Maka pada malam hari Minggu itu, saya pun berziarah makam bung Amir Syarifuddin.
Kekaguman saya kepada Amir Sjarifuddin sudah berlangsung lama, sejak saya mengenal ide-ide sosialis di masa SMA. Selain tertarik pada pemikiran sosialisme, saya juga kagum kepada tokoh-tokoh pemikir dan politisinya. Bahkan sewaktu kuliah, walau aktif di GMKI, ketertarikan saya tak pernah luntur. Dan, salah seorang tokoh utama Partai Sosialis di Indonesia yang saya kagumi, ya, Amir Sjarifuddin, yang pernah menjabat Menteri Penerangan di Kabinet Republik Indonesia yang pertama.
Saya sendiri tak pernah bertemu ataupun mendengar suara Amir. Pengenalan saya terhadap pemikiran dan sosoknya sebagai politisi hanya dari bacaan dan cerita-cerita orang yang telah mengenal Amir Sjarifuddin.
Cerita mengenai Amir Sjarifuddin antara lain saya dengar dari TB. Simatupang, Johanes Leimena dan A.M. Tambunan. Mereka bertiga berkeyakinan Amir bukan Komunis, dus Amir adalah seorang penganut Kristen yang baik. Tapi Amir memang orang yang ambisius, berambisi menjadi perdana menteri, berambisi memerintah dan berkuasa. Artinya, dia berambisi untuk menjalankan pemikirannya dalam kehidupan berpolitik, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam dunia perpolitikan Indonesia, Amir Sjarifuddin memang dikenal sebagai tokoh kontroversial. Amir dilahirkan di Medan pada tahun 1907, sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara. Orangtuanya berasal dari Tapanuli. Ayahnya, Baginda Soripada, berprofesi sebagai jaksa-bahkan pernah menjabat Jaksa Kepala (hoofd jaksa) di Sibolga, Tapanuli bagian Tengah.
Lulus dari sekolah dasarnya di Sibolga pada tahun 1921, Amir melanjutkan sekolah menengahnya di Leiden Belanda. Ia masuk di Stedelijk Gymnasium, sekolah non-agama. Pada akhir kelas keempat, ia meninggalkan Leiden dan menyelesaikan dua tahun terakhir sekolahnya di Stedelijk Gymnasium di Haarlem.
Tamat dari sana Amir kembali ke tanah air. Kemudian ia masuk Recht Hoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta. Di sinilah pada tahun kedua Amir berkenalan dengan politik. Saat itu di tahun 1928, dia menjadi anggota Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia dan menjadi redaktur majalah mahasiswa Indoesia Raya. Saat itu Amir bersama dengan Muh. Yamin, tinggal di asrama pelajar Jalan Kramat Raya 106, di sinilah tempat Kongres Pemuda ke II atau yang dikenal dengan Sumpah Pemuda 1928 dilaksanakan. Kongres disepakati akan diadakan pada 27–28 Oktober 1928. Sedangkan komposisi panitia yang terbentuk berasal dari berbagai latar belakang organisasi pemuda. Sugondo Joyopuspito dari PPPI terpilih sebagai ketua, RM Joko Marsaid dari Jong Java sebagai wakil ketua, Muhammad Yamin dari Jong Sumateranen Bond sebagai sekretaris, dan Amir Sjarifuddin dari Jong Batak Bond sebagai bendahara
Panitia lain adalah Johan Mohammad Tjaja (Jong Islamieten Bond) selaku pembantu I, R Kaca Sungkana (Pemuda Indonesia) selaku pembantu II, RCL Senduk (Jong Celebes) selaku pembantu III, Johanes Leimena (Jong Ambon) selaku pembantu IV, dan Rochjani Soe’oed. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, adalah tonggak modern perjuangan Kemerdekaan Indonesia, dengan dimulainya ikrar sebagai bertanah air, berbangsa dan berbahasa yang satu yaitu Indonesia.
Sesudah peristiwa pembubaran PNI, Amir diminta oleh pemimpin-pemimpin PNI di Jakarta untuk mendirikan partai politik baru, yaitu Partai Indonesia, peristiwa ini juga ditulis Amir dalam memoarnya seperti yang terdapat dalam buku, Amir Sjarifuddin, Antara Negara dan Revolusi, yang diterbitkan Jaringan Kerja Budaya, pada tahun 1996).
Sejak itu Amir memang dikenal luas sebagai salah seorang pemimpin pergerakan bangsa Indonesia. Tak lama setelah Partai Indonesia (Pertindo) dibubarkan di Tahun 1936. Amir dan sejumlah rekannya mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), Pada Kongres Gerindo di Palembang 1939, ia ditunjuk sebagai Ketua Umum. Di bawah kepemimpinan Amir, Gerindo menjalankan perjuangan ‘non kooperatif ‘menentang kolonialisme Belanda, dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Akibatnya, ia terpaksa mendekam berkali-kali di penjara pemerintah kolonial Belanda.
Ketika pasukan Jepang menduduki Indonesia, Amir secara tegas menolak fasisme yang dibawa Jepang. Pada Januari 1943, ia ditangkap tentara Jepang dan dipenjarakan di Surabaya. Ia dijatuhi hukuman mati, akan tetapi berkat desakan teman-temannya, hukuman itu diganti dengan hukuman seumur hidup.
Namun baru 33 bulan dipenjara, Perang Dunia II berakhir dan Jepang menyerah kalah. Perkembangan selanjutnya Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Amir pun dibebaskan, langtas ia diangkat sebagai Menteri Penerangan dalam Kabinet pertama yang dibentuk Presiden Soekarno.
Sekeluar dari penjara Jepang, Amir kemudian mendirikan partai baru yang diberi nama Partai Sosialis Indonesia (Parsi). Nama ‘sosialis’ menandakan tipe masyarakat yang diharapkan partai itu di dalam Republik Indonesia yang baru. Parsi menerapkan konsepsi partai yang terbuka bagi golongan yang cenderung kiri, demokratis, anti-fasis dan menentang segala bentuk kekuasaan pribadi. Amir ingin menjadikan Parsi sebagai partai yang tidak melakukan pemujaan kepada pimpinan dan menjadi laboratorium demokrasi. Ia juga menghendaki partai yang ‘berpikir horizontal’, sebuah partai yang memperjuangkan keadilan sosial serta persamaan hak dan kewajiban, melawan pemikiran suatu masyarakat yang statis dan hierarkis, hanya atasan yang berhak bicara.
Lewat konferensi di Cirebon, 16-17 Desember 1945, Parsi dan Partai Rakyat Sosialis (Paras) yang dibentuk Sutan Sjahrir melebur diri menjadi Partai Sosialis. Tapi tak sampai dua tahun kemudian koalisi ini retak karena perbedaan pendapat antara Amir dan Sjahrir (yang saat itu juga menjabat Perdana Menteri RI) mengenai Perjanjian Linggar Jati. Sjahrir lalu mundur dari jabatannya sebagai perdana menteri dan belakangan membentuk partai yang diberi nama Partai Sosialis Indonesia (PSI). Amir Sjarifuddin kemudian ditunjuk Presiden Soekarno untuk menggantikan Sjahrir, maka jadilah Amir menjabat Perdana Menteri selama tujuh bulan (Juli 1947–Januari 1948).
Tanggal 23 Januari 1948, Amir mengundurkan diri sebagai perdana menteri. Mohammad Hatta kemudian ditunjuk sebagai pemimpin kabinet presidensial. Amir dan Partai Sosialis menjalankan peran sebagai oposisi. Bahkan, Amir menggalang dan memimpin kekuatan oposisi dari kalangan kiri dengan membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang di dalamnya ada berbagai unsur: Partai Sosialis, Partai Buruh, PKI dan Pesindo. Awal September 1948, FDR mengumumkan bahwa mereka akan bergabung dengan ‘PKI Musso’, yang telah dinyatakan memberontak oleh pemerintah RI. Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai ‘Madiun Affair’ itupun kemudian ditumpas dengan kekuatan senjata oleh TNI. Amir terseret dalam perseteruan politik tersebut.
Sempat beredar kabar, Amir ditangkap dan kemudian dieksekusi oleh pasukan TNI. Pihak keluarganya diinformasikan, Amir wafat pada tanggal 19 Desesmber 1948. Penguburannya tidak dilakukan dengan tanda kehormatan apa pun. Bahkan tak ada nama di atas pusaranya, karena Amir dianggap sebagai salah satu tokoh PKI. Jenazahnya dikuburkan di Desa Ngaliyan, Karanganyar, Jawa Tengah. Namun dua tahun setelah meninggal, tepatnya pada 15 November 1950, atas perintah Presiden Soekarno, pusaranya digali kembali dan dilakukan proses identifikasi. Setelah itu diadakan serah terima kerangka kepada keluarga dsn dimakamkan kembali.
Yang membuat makam Amir Sjarifuddin seolah menghilang selama puluhan tahun adalah tindakan pengrusakan yang dilakukan sekelompok orang yang tak bertanggung jawab, selain merusak, sekelompok orang itu menutupi makam Amir dengan potongan rel kereta api, sehingga keluarga Amir tidak bisa memugar makam Amir. Segtelah bertahun-tahun akhirnya keluarga Amir bisa melakukan pemugaran dengan bantuan dari Lembaga Ut Omnes Unum Sint Institute. Pemugaran dimulai pada 12 Agustus 2008. Setelah selesai pada 14 November diadakan ibadah syukur di Gereja Dagen Palur, Solo.
Sisi lain yang saya kagumi dari Amir adalah kehandalannya dalam berpidatau ataupun berkotbah. Dia adalah orator ulung. Namun yang paling mengesankan adalah pemikiran Amir tentang, sosialisme Indonesia, karena yang digagas Amir, seperti yang saya bayangkan, sosialisme yang memperjuangkan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat, demokratisasi dan persatuan bangsa. Dan yang lebih penting, gagasan itu terus diperjuangkan Amir dengan komitmen yang teguh, tak peduli apapun resikonya, dipenjara atau kehilangan nyawa sekalipun.
0 Response to "SABAM SIRAIT BICARA TENTANG AMIR SYARIFUDDIN"
Posting Komentar