REFORMATANEWS.COM, Jakarta - UPF Indonesia menyelenggarakan kegiatan virtual dengan tema "Building Bridges across Boundaries: Interfaith Harmony in the Spirit of Bhinneka Tunggal Ika” (Membangun Jembatan lintas Batas: Kerukunan Antar Agama dalam Semangat Bhinneka Tunggal Ika). Kegiatan yang diadakan pada hari Jumat, 5 Maret 2021 itu disiarkan melalui platform Zoom dan YouTube. Secara keseluruhan, lebih dari 300 orang berpartisipasi dalam program ini, pada kesempatan Pekan Harmoni Antar-agama Sedunia ke-11 di mana Pelantikan Asosiasi Antar-agama juga berlangsung.
Pekan Kerukunan Antar-Agama Sedunia dirayakan setiap tahun dan merupakan inisiatif Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diusulkan oleh Raja Abdullah II dari Yordania untuk meningkatkan kesadaran akan saling pengertian dan dialog antar-agama yang merupakan dimensi penting dari budaya damai. Karenanya, inisiatif ini penting untuk mendorong kerukunan antara semua orang tanpa memandang keyakinannya.
Untuk mendukung inisiatif tersebut, UPF di seluruh dunia meresmikan Asosiasi Antar-agama untuk Perdamaian dan Pembangunan (IAPD) sebagai salah satu dari tujuh pilar terkait di dalam UPF itu sendiri. Dan pada acara kali ini, IAPD Cabang Indonesia akhirnya diresmikan dan diketuai oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA., Imam Besar Masjid Istiqlal dalam program ini.
Acara virtual yang dipandu oleh Bapak Alfred Forno, Sekretaris Jenderal UPF Indonesia dan Yunita Rosalina Manurung ini menampilkan pembicara dan tamu pada tingkat internasional dan nasional dan dari berbagai agama di antaranya: 1) Dr. Tageldin Hamad, Wakil Ketua UPF Internasional, 2) Ibu Ursula McLackland, Sekretaris Jenderal UPF Asia-Pasifik, 3) Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, Imam Besar Masjid Istiqlal, 4) Pdt. Jimmy Sormin, Sekretaris Eksekutif KKC Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, 5) Maha Pandita Suhadi Sendjaja, Ketua Umum Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia, 6) KRHT Astono Chandra, Pengurus Pusat Parisada Hindu Dharma Indonesia, 7) Ws Lie Suprijadi, Pengurus Pusat MATAKIN.
Wakil Ketua UPF Prof. Dr. Payaman Simanjuntak menyambut semua pembicara dan peserta program yang diikuti dengan ucapan selamat oleh Dr. Tageldin Hamad dari UPF Internasional. Dalam sambutannya, Dr. Hamad menyebutkan, "kita perlu menjadi pembuat perubahan." Dia melanjutkan, "Para pemimpin agama harusnya tidak hanya duduk di kursi di belakang meja tetapi secara internal menjalani kehidupan yang menyenangkan Tuhan." Ia menyatakan bahwa pendiri UPF, Dr. Hak Ja Han Moon telah memprakarsai Asosiasi Antar-agama untuk Perdamaian dan Pembangunan untuk memfasilitasi semua pemuka agama dan semua orang beriman untuk bekerja sama secara harmonis di bawah bendera Komunitas Suci Orangtua Surgawi. “Pemuka agama adalah kolaborator bukan kompetitor”, pungkasnya.
Program yang menghadirkan lima tokoh agama sebagai pembicara panel ini dimoderatori oleh Ibu Inna Junaenah, Ph.D. (c), Pengurus Wilayah bidang Hukum dan Hak Asasi ‘Aisyiyah Jabar, yang kemudian mempersilahkan Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA untuk mengawali panel serta menyampaikan pidato inaugurasinya.
Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA mengatakan, “Universal Peace Federation sangat peduli terhadap persoalan kemanusiaan. Tantangan kita ke depan, akhir-akhir ini, bukan saja menghadapi radikalisme.
Tetapi yang paling penting untuk kita bangun sekarang ini ialah kebersamaan dalam rangka mengatasi persoalan covid-19.” Selain itu, beliau menyinggung tentang pentingnya kolaborasi untuk mengatasi persoalan-persoalan selain covid-19 seperti bencana alam di antaranya: banjir, longsor, gempa bumi, letusan gunung berapi, dan lain-lain.
Pdt. Jimmy Sormin dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mengatakan, “Kita harus menyadari bahwa dialog antar-agama bukanlah hal baru di Indonesia. Sejak saya kecil, saya sudah berbicara dan bermain dengan pemeluk agama lain dengan damai tanpa ada stigma atau stereotip atau hal lain yang membuat saya iri atau membenci orang lain. Itu hanya dialog harian di antara kita. " Ia kemudian melanjutkan, “Kita juga harus menyadari di antara kita bahwa ideologi nasional, transnasional dari negara lain atau perkembangan intoleransi yang masuk ke bangsa kita selama ini menjadi masalah besar yang menyebabkan terjadinya segregasi di antara kita.”
Maha Pandita Utama Suhadi Sendjaja membagikan pengalaman kerukunan antar-umat beragama kala beliau menerima vaksin di Masjid Istiqlal bersama penerima vaksin lainnya dari berbagai latar belakang suku dan agama, yang difasilitasi oleh Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MH. mengungkapkan: Persoalan-persoalan yang terjadi itu adalah 3 bencana 7 musibah.
Beliau mengatakan pentingnya agama bagi umat sejak mulanya. “Pada hakekatnya, asal-muasal agama hadir itu niatnya untuk membangun kerukunan, untuk membangun persaudaraan,…” katanya. “Kita harus menghormati semua umat manusia, karena kita semua mempunyai bibit Buddha yang harus diagungkan…kita bukan lagi membangun kerukunan, tetapi persaudaraan, persaudaraan antar-umat beragama dengan pemerintah, persaudaraan antar-sesama umat manusia,” pungkas beliau.
Dari pengurus pusat Parisada Hindu Dharma Indonesia, Raden Kanjeng Hastono Tumenggul Astono Chandra, mengacu pada ‘Tri Hita Karana’, yang berarti tiga penyebab terciptanya kebahagiaan, “Kalau ini kita bisa elaborasi dalam kehidupan kita, rasanya apa yang menjadi keyakinan dan cita-cita luhur para bapa pendiri bangsa akan terwujud, karene bahkan PBB pun sudah menyerap konsep Tri Hita Karana ini”, katanya. “Ada yang namanya dharma agama dan dharma negara. Jadi kita melaksanakan dharma agama untuk internal kita, dan dharma negara untuk eksternal kita, bagaimana kita bisa mengabdikan sebesar-besarnya untuk kepentingan kerukunan berbangsa dan bernegara”, pungkas beliau bertolak dari dasar keyakinannya.
Pembicara terakhir, Ws. Lie Suprijadi dari keyakinan Konghucu mengungkapkan, “Kita harus memiliki sikap sabar, menahan diri melihat orang lain melakukan sesuatu yang berbeda dengan kita dalam segala hal.” Dengan mengutip apa yang dikatakan oleh Nabi Konghucu, beliau melanjutkan, “Sesungguhnya, kemuliaan seseorang itu tergantung dari usaha orang itu sendiri. Maka janganlah menilai orang dari apa agama yang dianutnya, dan janganlah menilai agama dari orang yang menganutnya.” Beliau mengakhiri untuk menekankan pada pentingnya saling menghormati dan rukun dalam kehidupan kita dengan Tuhan, alam, dan sesama.
Salah satu yang menjadi sorotan utama dari kegiatan ini adalah lagu “The Voice of Peace” yang dibawakan oleh Maria Stefanie. Pencipta lagu “The Voice of Peace” ini adalah seorang komposer dan penyanyi asal Indonesia yang kini berdomisili di Sydney, Australia. Penampilan lagu ini menciptakan suasana yang begitu harmonis di antara seluruh peserta dan mampu menghadirkan inspirasi perdamaian.
Kegiatan ini diakhiri dengan Deklarasi Kerukunan Agama yang dibacakan oleh Pdt. Louis Pakaila dan yang langsung menutup seluruh rangkaian kegiatan dengan doa.
0 Response to "Building Bridges across Boundaries: Interfaith Harmony in the Spirit of Bhinneka Tunggal Ika"
Posting Komentar