REFORMATANEWS.COM, Bandung - Diskusi mengenai kerusakan agama di Indonesia sering kali terfokus pada satu aspek saja. Padahal sesungguhnya permasalahan ini adalah fenomena multifaset yang diakibatkan oleh dua kutub berlawanan namun sama-sama merugikan; (i) radikalisme dari tokoh agama tertentu, dan (ii) kebijakan pemerintah yang kurang tepat. Kedua faktor ini secara simultan mengikis nilai-nilai luhur Agama dan merenggangkan harmoni sosial di Nusantara.
Ancaman dari Dalam, Tokoh Agama Berwawasan Sempit
Fenomena tokoh agama dengan pemahaman intoleran, fanatik, dan berwawasan sempit bukanlah hal baru. Mereka menafsirkan teks-teks keagamaan secara harfiah, membatasi makna serta aplikasi, dan pada akhirnya, mengabaikan esensi perdamaian dan kasih sayang yang menjadi fondasi universal setiap Agama. Pendekatan doktriner kaku itu sering kali berujung pada radikalisme yang menjauhkan umat dari nilai-nilai kemanusiaan dan keberagaman.
Ironisnya, model kepemimpinan agama seperti itu melahirkan pengikut yang serupa. Lingkaran setan radikalisme terus berputar, mempersempit ruang dialog, menumbuhkan kebencian, dan pada akhirnya, merusak citra Agama di masyarakat luas.
Mereka "seolah" atau pasti melupakan bahwa agama-agama besar selalu memiliki lambang dan ajaran yang menekankan perdamaian, toleransi, dan kebersamaan.
Intervensi dari Luar, Peran Pemerintah yang Merusak
Tidak hanya dari internal umat beragama, kerusakan agama juga dapat datang dari arah yang tak terduga, yaitu kebijakan pemerintah/negara.
Meskipun terdengar paradoks, realitas di lapangan menunjukkan banyak contoh intervensi pemerintah justru menciptakan gesekan antarumat beragama dan mengikis kepercayaan publik.
Kebijakan tidak sensitif terhadap keberagaman, atau bahkan secara sengaja atau tidak, menciptakan kaum marjinal berdasarkan Agama, adalah bukti nyata bagaimana negara bisa turut andil dalam merusak tatanan harmoni beragama.
Kedua hal di atas adalah sikon kritis dan darurat pada hidup serta kehidupan Berbangsa dan Bergegara. Sikon kritis yang membutuhkan _panggilan gawat darurat_ untuk seluruh elemen di Indonesia, mulai dari para elite, presiden, menteri, politisi, hingga aparat penegak hukum.
Sudah saatnya ada perubahan drastis dan segera dalam cara mereka memahami dan mengelola isu keagamaan. Perubahan itu harus bertujuan untuk menjadikan Indonesia lebih baik, di mana sekat-sekat SARA tidak lagi menjadi penghalang bagi persatuan dan kemajuan bangsa.
Pemerintah, termasuk TNI dan Polri, wajib menghentikan segala bentuk politik yang berpotensi menciptakan polarisasi atau memarginalkan kelompok tertentu karena afiliasi agamanya. Sebab, pada akhirnya, praktik semacam ini tidak hanya merusak kohesi sosial tapi juga mencederai nilai-nilai luhur agama itu sendiri di bumi Nusantara.
Semuanya itu adalah tantangan kolektif yang membutuhkan kesadaran dan tindakan nyata dari setiap komponen bangsa.
Lalu, "Kapan Anda Memulai?"
Bandung, 2 Juli 2025
Opa Jappy | Indonesia Hari Ini
0 Response to "Ketika Agama Dirongrong dari Dua Arah, Radikalisme Tokoh dan Kebijakan Negara, (Oleh Opa Jappy)"
Posting Komentar