Sembilan Puluh Empat tahun yang lalu tetaptnya tanggal 28 Oktober 1928 menjadi momentum bersejarah yang menggugah kesadaran pemuda-pemuda Indonesia menumbangkan sekat-sekat primordialisme. Mereka bertekad bahwa yang disebut Indonesia itu tidak identik dengan identitas tertentu: Indonesia itu plural–kesadaran akan pluralitas itu melahirkan energi besar yang secara konsisten mereka rawat hingga Indonesia merdeka tahun 1945. Perjuangan politik para pemuda bukan dalam rangka memenuhi libido kekuasaan melainkan lahir dari suatu kesadaran untuk hidup bersama tanpa tekanan kolonial. Dengan kata lain, kemerdekaan RI adalah hasil perjuangan para pemuda meletakkan kesadaran akan keragaman sebagai pondasi dalam membangun hidup berbangsa dan bernegara. Itu sebabnya bangsa kita diformat sebagai negara bangsa di mana kesadaran sebagai bangsa yang multikultur menjadi suatu keniscayaan. Kerangka Filosofis Sumpah Pemuda–Menuju Persatuan dan kesatuan: dalam persatuan dan kesatuan, perbedaan dirayakan sebagai sebagai kekayaan bangsa. Dari perjuangan para Pemuda Indonesia masa itu, setidaknya ada beberapa poin mendasar yang dapat kita hayati.
Inferiority Complex sebagai State of Mind
Pergerakan dan perjuangan para pemuda hingga melahirkan Ikrar/Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 kental dengan ide modernitas yang khas dengan kemandirian berpikir. Itu sebabnya para pemuda menolak tunduk pada hegemoni penjajah dan memilih berpikir merdeka. Sederhananya para pemuda menolak Inferiority complex. Namun resonansi perjuangan para pemuda dibungkam anasir jahat, yaitu reduksifsai politik yang tanpa disadari membuat pikiran kita terkana toxic bernama Inferiority complex.
Inferiority complex dalam The American Psychological Association (APA) didefinisikan sebagai sebagai sikap rendah diri dengan memosisikan orang lain secara hiperbolis. Sikap semacam ini sebenarnya adalah bentuk ketidaknyaman diri (insecure) dan pada akhirnya hanya akan membuat kita tidak produktif. Disadari atau tidak, kita tersandera di dalamnya. Tidak heran bila bangsa kita memendam potensi dalam rasa takut bahkan prasangka. Optimalisasi akal budi dikhawatirkan akan menyeret kita dalam krisis iman. Akal budi sebagaimana kodratnya, adalah suatu kekhasan yang diberikan ‘Tuhan’ di mana melaluinya manusia mencapai kesadarannya secara auntentik. Bagi Aristoteles, kesadaran yang autentik itu terwujud dalam sikap ‘keingintahuan’ yang besar (All men by nature desire to know). Mengutip apa yang ditulis oleh Simplesius Sandur bahwa ‘keingintahuan’ merupakan suatu potensia yang melekat secara kodrati. Sehubungan dengan itu, pada dasarnya manusia berusaha mencapai kepenuhan kodratnya sebagai makhluk yang berpikir (animal rationale) demi supremasi akal budi tanpa disertai dengan sikap takut atau ‘minder.
Sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, bahwa inferiority complex dapat menumbuhsuburkan ‘prasangka’ (prejudice)–setidaknya dalam konteks sosiologis. Selama ini kita mempersepsikan orang lain (bangsa lain) sebagai yang lebih cerdas, maju dibanding dengan kita. Namun hal yang sangat disayangkan adalah kita absen untuk mengembangkan potensia menjadi aktus. Akibatnya kita senang mengcopy paste gaya hidup bahkan tata cara ke-Agama-an dari bangsa lain. Seolah produk lokal kurang berkualitas, tidak steril dari anasir budaya yang sinkretis–bila perlu diamputasi. Produk budaya atau agama dari bangsa lain diyakini yang paling dekat dengan Sabda Tuhan dalam Kitab Suci.
Kemerdekaan bangsa kita adalah rahmat Tuhan yang seharusnya diimbangi dengan kesadasaran dan keberanian berpikir sendiri (sapere aude) termasuk dalam soal mengekspresikan keimanan dalam konteks keIndonesiaan. Istilah sapere aude merupakan kosakata yang akrab dengan Immanuel Kant. Proyek pencerahan (aufklarung/enlightenment) oleh Aramdo Riyanto dikontekstualisasikan dengan Indonesia sebagai dorongan keluar dari inferoritas, rendah diri bahkan kepicikan sendiri. Intinya sikap Inferiority complex adalah bentuk kenaifan berpikir yang justru menciptakan zona nyaman yang tidak aman, karena suatu saat kita akan menerima efek buruk atas malasnya berpikir sendiri.
Jangan pernah takut untuk menjadi diri sendiri dan menempatkan supremasi akal dalam seluruh kehidupan termasuk keimanan kita. Saya yakin keberanian kita dalam berpikir akan menentukan arah dan membentuk mentalitas zaman. Bagi saya Iman tanpa kesadaran akal budi hanya akan melahirkan kepercayaan yang banal–iman adalah tempat pertanggungjawaban dan bukan tempat pelarian–seolah-olah dengan beriman ala orang lain kita mejenadin lebih sempurna. Bangsa kita menyimpan beragam pesona yang seharusya membuat kita makin kokoh memiliki kemandirian.
Politik Identitas: Pandemi Disintegrasi
Saya rasa kita sepakat bahwa semenjak Pilpres 2014 energi kita terkuras cukup banyak akibat politisi agama yang pada akhirnya menumbuhkan politik identitas. Dan tanda-tanda bahwa agama menjadi komoditas politik untuk tahun 2024 sudah mulai tercium aromanya. Ahmad Syafii Maarif menyebutnya bahwa politik identitas berkaitan dengan konflik etnis, agama, ideologi dan kepentingan-kepentingan lokal lainnya yang mudah dipolitisasi dan kemudian menjadi bola liar untuk saling meniadakan.
Belakangan ini politik identitas menjadi burning issue bahkan bisa jadi adalah ‘menu utama’ bagi politisi sofistik. Politik identitas muncul seiring dengan tumbuh suburnya pengkategorian realitas menjadi dua bagian yang tentunya menjadi ancaman bagi kaum minoritas atau the others. Manusia model ini lebih menyukai pemaknaan identitas yang berimbas pada munculnya konflik hanya karena berbeda identitas. Akibatnya kesadaran kita untuk melihat yang lain (the others) sebagai manusia yang perlu dihormati menjadi kabur.
Yoga Sukmana dalam tulisannya berjudul Politik Identitas Berlebihan Mengubah Mimbar Keagamaan Jadi Panggung Politik menyebutkan bahwa politik identitas sebenarnya bukanlah suatu masalah. Ketika kita terlahir, sejumlah identitas melekat kuat pada diri kita–disebut nilai objektif. Politik identitas menjadi masalah ketika sekelompok orang mengekploitasi identitas, kemudian digemakan secara berulang-ulang di ruang publik: Liyan (the orthers) dianggap mengacam. Kecemasan ini dilandasi minimnya nalar historis bahwa bangsa kita terbentuk dari puzzle keragaman.
Jika kita flash back, sebenarnya semangat persatuan dan kesatuan sudah diahayati sebagai value dalam menjalin keharmonisan sekalipun berbeda identitas. Adalah Mpu Tantular dalam bukunya Sutasoma dimaksudkan agar kita secara konsisten mengawal dan menjaga kemajemukan yang merupakan pondasi kokoh bagi lahirnya konsep Negara bangsa (nation state). Sederhananya adalah kebhinekaan ingin memberi tekanan betapa pentingnya mengembangakn sikap hidup saling menghargai. Peribahasa Jawa yang menyatakan mangan ora mangan sing penting ngumpul makan atau tidak makan yang paling penting adalah kebersamaan) bukan sekadar slogan semata tetapi memiliki muatan filosofis akan pentingnya kebersamaan antar sesama yang bahkan rela mengorbankan urusan perut (makan) demi menjaga keselasaran hidup.
Melampuai Identitas
Sembilan Puluh Empat tahun sudah kita mengenang perjuangan anak-anak muda dalam memujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Tugas kita adalah mengembalikan Indonesia seperti yang diperjuangkan para pemuda di tahun 1928 yang sepakat meuntuhkan egoisme kedaerahan menjadi solidaritas kebangsaan. Perjuangan kita menjadi Indonesia belumlah selesai. Jangan sampai Sumpah Pemuda, hanya menjadi kenangan sejarah.
Cara berpikir minder (Inferiority complex) dan cara berpikir segmental (primordial) yang mengotak-kotakan realitas berdasarkan identitas tertentu menjadi tantangan kita para pemuda masa kini menggemakan semangat persatuan, menumbuhkan kesadaran berada bersama (koeksistensi) dan menciptakan hubungan yang resiprokal di negeri ini. Di samping itu, mari bersama kita bendung politik identitas supaya bangsa tetap pada format Bhinneka Tunggalika. Indonesia, Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa dan Satu Rasa.
Semestinya keragaman penduduk Indonesia dapat meningkatkan posisi tawar di kancah internasional dan bukan sebaliknya menjadi alat orgasme bagi sekelompok orang. Bangsa kita menampung semua perbedaan sebagai kekayaan bangsa. Indonesia bukan milik suku, agama, rasa dan antar golongan tertentu, tetapi milik bersama. Mengutip apa pendapat Saut Sirait bahwa kemajemukan adalah hakikat alamiah yang tidak dapat dinafikan dan seharunya mendapat ruang gerak yang luas sehingga masing-masing identitas bebas berekspresi tanpa terkendala dan mengadili the others karena perbedaannya.
Penulis : Leo Alexander Tambunan (Dosen Universitas Matana
Yulius Aris Widiantoro (Dosen di beberpa Perguruan Tinggi)
0 Response to "SATU NUSA, SATU RASA"
Posting Komentar