Hagia Sophia |
Harsanto Adi, Ketua Umum Asosiasi Pendeta Indonesia (API) mengatakan gereja kecewa atas langkah Erdogan mengubah fungsi situs bersejarah itu. Bahkan, katanya, kekecewaan atas sikap Erdogan itu telah disampaikan oleh Paus Fransiskus di Alun-alun Santo Petrus pada ibadah Minggu, pekan lalu. Hal yang sama juga telah dicetuskan oleh pemuka gereja yang tergabung dalam Dewan Gereja Dunia di Jenewa, Swiss. "Umat muslim yang mana yang diwakilkan oleh Erdogan ini sebenarnya," kata Adi dalam diskusi bertopik, Alih Fungsi Hagia Sophia: Provokasi Erdogan Terhadap Barat yang diinisiasi Pewarna Indonesia pada Kamis (16/7).
Menurut dia, tindakan Erdogan itu menyembunyikan satu kenyataan yang jauh dari semangat Islam, dimana diriwayatkan bahwa Umar Bin Khattab pernah menunjukkan sikap toleransi atas properti milik komunitas Kristiani pada masa yang lampau.
Dari fakta sejarah bila dirunut kebelakang, maka ada sejumlah tindakan Erdogan yang telah mendistorsi sejarah untuk melayani kepentingan politiknya. Oleh karena itu, tidak akan ada jaminan situs yang didirkan pada tahun 537 SM itu tetap terjaga dan lestari setelah dialihfungsikan. Sebab seperti di masa Ottoman, telah terjadi kerusakan pada sejumlah fitur yang khas pada bangunan itu, misalnya, lonceng, mozaik bermotif rupa Tuhan Yesus, Bunda Maria, dan lainnya. Jadi, jika Erdogan menjanjikan kemudahan akses pengunjung ke situs itu setelah semuanya ini, maka pernyataan itu sangat diragukan masyarakat dunia.
Pendiri Hadassah of Indonesia, Monique Rijkers berpendapat situs bersejarah umat Kristen dan Yahudi tidak akan mendapat tempat yang layak jika jatuh kepada manusia berkarakter seperti Erdogan. Sebab Presiden Turki itu akan melakukan tindakan populis demi meraih dukungan politik di dalam negeri dan dari negara Islam lainnya. "Saya sudah sering kecewa dengan islamisasi, banyak situs kekristenan yang dimualafkan," katanya.
Ia menyebut deretan nama gereja, yang merupakan situs kekristenan di di Timur Tengah yang telah berganti menjadi mesjid. Bahkan beberapa waktu lalu, katanya, UNESCO telah mengubah makam Rahel, istri Yakub yang terletak di Betlehem, menjadi milik Palestina. Begitu juga dengan situs ziarah Bukit Moria di Israel.
Menurut dia, pengubahan nama dan alih fungsi sejumlah warisan kekristenan dari abad pertama dan pertengahan itu terjadi karena manuver Palestina sebagai salah satu anggota UNESCO. Hanya saja respon penolakan dari masyarakat secara terbuka pada waktu itu minim sekali, berbeda halnya soal Hagia Sophia saat ini. "Kita harus ingat, situs Kekristenan dan Yahudi jangan sampai jatuh ke tangan orang yang akan mengubahnya menjadi masjid. Kalau milik pribadi boleh, tapi inikan bukan, ini didirikan di atas darah para martir," katanya.
Alih guna situs itu, katanya, merupakan keputusan Erdogan untuk memperkuat pengaruhnya di kawasan Timur Tengah. Turki ingin membangkitkan kejayaan Ottoman. Dan, NATO tidak akan mengeluarkan keanggotaan Turki hanya karena keputusan sepihak dari Erdogan itu. Saat invasi Turki atas Siprus pada 1974 saja, katanya, organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara itu hanya diam membisu.
Elisabeth Koamesakh, Dosen di STT Paulus Medan, Sumatera Utara mengatakan semestinya Erdogan mengembalikan fungsi Hagia Sophia menjadi gereja karena dibangun pada masa kekuasaan Bizantium Timur dan digunakan sebagai gereja selama 900 tahun, sedangkan Kekaisaran Ottoman hanya berlangsung 500 tahun. "Kalau Erdogan mau mengembalikan fungsi situs itu, kembalikan kepada Gereja Ortodoks," ujarnya.
Selama 85 tahun sejak awal Mustafa Kemal Ataturk berkuasa, bangunan bersejarah itu digunakan sebagai museum dan dicatat sebagai warisan budaya oleh UNESCO. Tempat itu menjadi simbol perjumpaan antara Kristen dan Islam dari masa lampau hingga saat ini. Oleh karena itu, ketika fungsinya berubah maka ini menjadi sebuah tamparan bagi umat Kristen.
"Kalau kemudian itu dijadikan tempat ibadah, meski bisa dikunjungi, ini akan menyakitkan. Ini akan menjadi kontroversi. Ini akan menambah islamphobia di Barat, memperuncing anti Islam di dunia," tukasnya.
Apa yang terjadi atas Hagia Sophia tidak lepas dari sejarah masa lalu, Perang Salib. Di mana pada akhir perang itu, Muhammad Al-Fatih alias Mehmed II merebut konstantinopel dari Konstantinus XI setelah 53 hari mengepung kota itu pada 29 Mei 1453. Bangunan Gereja Ortodoks yang ada di kota itu pun dialihfungsikan menjadi mesjid. Namun Mustafa Kemal Ataturk, pendiri negara Turki mengubah bangunan itu menjadi tempat yang bisa digunakan bersama oleh masyarakat Turki.
"Sebenarnya kita sudah diberi relief banyak oleh Kemal Ataturk ketika Hagia Sophia difungsikan menjadi museum, ada restorasi dengan bantuan seorang arkelog dari Amerika Serikat," kata Rita Wahyu, Dosen Studi Biblical Hebrew di Israel Bible Center dan STT Ekumene Jakarta.
Menurut dia, langkah Ataturk cukup bijaksana di awal kepemimpinannya dengan mengubah fungsi situs itu karena berpotensi memicu perang lagi di kawasan itu. "Upaya menjadikan museum itu pemikiran yang brilian, meskipun Turki punya otoritas atas bangunan itu," ujarnya.
Partogi J Pieter Samosir Ph.D. |
Menurut dia, situs itu berada pada wilayah kekuasaan Turki sehingga Erdogan punya hak penuh atas penggunaannya. Meskipun UNESCO menempatkan Hagia Sophia sebagai situs bersejarah, tapi hal itu tidak memiliki kekuatan hukum sama sekali.
Posisi Hagia Sophia, katanya, seperti Candi Borobudur yang menjadi warisan dunia. Tidak ada hukum yang dapat memaksa bila penggunaan dan fungsi atas situs itu diubah. "Itu memang kedaulatan Turki. Jadi, saya bisa memahami keputusan Turki mengalihfungsikan Hagia Sophia," katanya. Luther Kembaren
0 Response to "Erdogan, Politisasi Agama Pertahankan Kekuasaan"
Posting Komentar