REFORMATANEWS.com Jakarta - Tema Implementasi Pancasila dan Budaya adalah tema yang
sangat menarik, fundamental dan jarang orang meliriknya” ungkap Mardani Ali
Sera dalam pembukaan diskusi yang digagas oleh PEWARNA Indonesia 30 Juli 2020.
Pewarna mengangkat teman ini, karena pada tahun 2020 ini, Indonesia merdeka
genap 75 tahun. Dasar negara Indonesia,
yaitu Pancasila, sejak ditetapkan sebagai dasar negara, sudah setua kemerdekaan
Indonesia. Muncul banyak pertanyaan ketika berhadapan dengan realita yang
sesungguhnya, yaitu apakah Pancasila sudah terimplementasi dengan baik mulai
dari elit hingga akar rumput? Atau Pancasila hanya bahan wacana semata yang
tidak pernah singgah dalam tindakan dan perbuatan kita? Di sisi lain, masih
banyak kasus yang kita temui yang bertentangan dengan semangat Pancasila, yaitu
radikalisme, intoleransi, sektarianisme sampai korupsi.
Anggota DPR RI Komisi II F-PKS ini memparkan bahwa “Pancasila
yang digagas Founding Fathers and Mother atau pendiri
bangsa ini, mampu membetuk Pancasila yang mempersatukan bangsa. Bagi PKS, Pancasila
sudah final. Pancasila sebagai dasar dalam berbangsa. Rumah bersama”. Lebih lanjut dijelakan, “Masyarakat Indonesia adalah umat
yang religius, sehingga religiusitas adalah fakta yang ada dalam Indonesia dan
dijadikan sebagai sumber moral. Religiusitas menjadi landasan untuk melakasanakan
sila-sila yang lainnya. Religiusitas menjadi landasan kemanusian, persatuan,
kerakyatan dan keadilan. Saat ini komisi
II sedang menyusun UU Pemilu. Ada 14 ahli yang diundang untuk memberi pendapat.
Faktanya bahwa demokrasi kita belum berjalan dengan baik dan maksimal”.Bidang Budaya, Mardani Ali Sera menyoroti bahwa “pendidikan
kita saat ini masih kurang memperhatikan budaya, sehingga konstruksi berpikir
belum berjalan secara maksimal. Sastra itu melembutkan dan mengembangkan
imajinasi”.
Terkait kebersamaan, Mardani Ali Sera menyikapi “Ruang publik
harus diisi dengan pemikiran yang pluralitas atau dynamic equilibrium, yaitu adanya keseimbangan, keuntungan, dan rasa
saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Secara umum ruang publik harus
diisi dengan kebersamaan, tetapi harus ada keseimbangan, misalnya pertumbuhan
ekonomi, keadilan sosial dan keadilan hukum, karena tujuan bernegara adalah
melindungi segenap tumpah dara Indonesia”.
Mardani Ali Sera mengapresiasi kerukunan yang ada di Kampung
Sawah, “Kampung Sawah tidak pernah bermasalah terkait kebebasan beragama,
karena masyarakatnya, dan RT/RWnya bisa mewujudkan pluralitas. Kadang yang
menghambat kebersamaan itu, karena secara makro ada isu terkait kristenisasi.
Padahal secara mikro belum tentu. Oleh karena itu, antara yang mikro dan makro
harus bisa saling terkoneksi dan perlu ada keterbukaan. Suasana yang ada di kampung
sawah harus ditularkan ke tempat-tempat lainnya”.Terkait posisi dan tafsir Pancasila, Mardani Ali Sera
menegaskan bahwa “Pancasila adalah rumah besar kita. Tafsir tunggal atas
Pancasila tidak diperlukan. Implementasi Pancasila harus dimulai dari elit.
Elit harus menjadi teladan”.
Mardani Ali Sera |
Terkait hubungan PKS dengan HTI, Mardani Ali Sera
menyampaikan, “PKS dan HTI tidak sama. HTI mendukung Khilafah, kalua PKS mendukung
Pancasila, PKS setuju demokrasi sementara HTI mengharamkan demokrasi. PKS mendukung
untuk pembubaran ormas itu harus melalui mekanisme pengadilan. Bukan pembubaran
dulu baru masuk ke pengadilan. PKS membela HTI bukan karena setuju dengan ideologi
HTI, tetapi pada proses pembubaran ormas” Salah satu bentuk implementasi Pancasila adalah “kasus Ahmadiyah,
kasus Gereja kita yang ditutup di Bogor, kasus Djoko Tjandra harus segera diselesaikan.
Perlu menghidupi Pancasila. Pancasila hadir kepada kebijakan negara dan prilaku
seluruh elit” tegasnya.
Sugeng Teguh Santoso, Ketua Yayasan Satu Keadilan sekaligus
sebagai penasehat PEWARNA Indonesia, menyoroti berbagai hal diantaranya bahwa
“Pancasila adalah konsensus dari hasil berpikir bersama yang dimaknai sebagai
dasar untuk memandang segala sesuatu dalam bernegara. Pancasila tidak bisa ditafsirkan
secara tunggal. Pancasila sebagai landasan hukum dan moral umum”.
Lanjutnya, “Pancasila berisi religiusitas, namun an sich bukan hanya berpikir secara
agama saja atau melandaskan kehidupan berbangsa berdasarkan agama. Untuk
menyikapi keyakinan jangan dilakukan dengan pendekatan hukum. Misalnya, penyegelan
makam tokoh adat Sunda Wiwitan adalah contoh menyikapi keyakinan dengan
pendekatan hukum”.
Terkait budaya, Sugeng Teguh Santoso, memaparkan bahwa
“budaya adalah hasil cipta, rasa dan karsa jiwa manusia dalam konteks
komunitasnya dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia itu segambar
dan serupa dengan Tuhan, sehingga manusia memiliki potensi kehendak baik,
karena Tuhan adalah baik. Dengan demikian, produk kebudayaan harus menghasilkan
kebaikan yang meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan. Pancasila
adalah hasil budaya yang dipikirkan oleh pendiri bangsa untuk menghasilkan kebaikan yang
meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan”.
Lanjutnya, “Pancasila harus menjadi panduan dalam
berbegara. Kedepankan budaya. Harus ada harmonisasi antara manusia dengan
manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan”. Terkait pendidikan, Sugeng Teguh Santoso, memaparkan
“Pendidika agama tidak perlu diajarkan di sekolah umum. Sebaiknya
diajarkan saja di rumah dan keluarga masing-masing. Sekolah umum tidak perlu ada
pendidikan Agama. Kristalisasi Pancasilah sebagai landasan dalam bersikap dan
bertindak dalam ruang publik sudah baik. Pancasila harus menjadi panduan dalam
kehidupan umum”.
Menyikapi agama Samawi, Sugeng Teguh Santoso menjelaskan
“agama samawi, yaitu Islam dan Kristen, cenderung untuk melakukan hegemoni dan
ekspansif. Jika mengedepankan sifat hegemoni dan ekspansif maka akan sering
berbenturan. Agama itu penting, tetapi harus diposisikan dalam komunitas yang sejenis.
Jangan di komunitas publik. Lembaga agama dan komunitas agama bisa dibuat,
tetapi jangan di ruang publik. Ruang publik harus bersi dari kepentingan agama
tertentu dan doktrin agama tertentu, supaya cara berpikirnya tidak sempit. Supaya
tidak terjadi juga segel-menyegel, seperti penyegelan makam tokoh adat Sunda
Wiwitan yang dipermasalahkan terkait IMB atau penyegelan rumah ibadah agama
tertentu dengan alasan ketidak setujuan dari kelompok agama mayoritas”.
Sugeng Teguh Santoso menegaskan bahwa “Pejabat publik sudah
disumpah sesuai dengan agamanya untuk taat pada Pancasila, sehingga pejabat
publik yang tidak melaksanakan kebijakanya sesuai dengan kepentingan public, perlu
diberikan konsekuensi yang jelas”. “Pancasila tidak perlu tafsir tunggal,
karena itu adalah konsensus bersama. Pancasila ada dalam diri kita!”, tutupnya.
Paparan dari Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, Politisi
GERINDRA, dan Ketua Bidang Advokasi Perempuan DPP GERINDRA “Pancasila yang ada
saat ini juga menjadi hadiah bagi kaum nasrani. Pejuang Kristen sudah berusaha untuk
memperjuangkan supaya Pancasila lebih terbuka. Sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa bukanlah untuk satu agama tertentu. Ini artinya memberi runag bagi setiap
individu untuk bebas beragama dan beribadah sesuai keyakinan masing-masing.
Harus mau untuk saling menerima dan saling menghargai yang berbeda
keyakinan”. Realitanya di Indonesia,
tambanya, “masih banyak warga yang belum mengetahui dan memahami Pancasila”.
Terkait dengan musyawarah mufakat, Bacalon Wakil Walikota
Tangsel ini mengatakan bahwa, “sistem dalam memilih pemimpin yang kita sepakati
adalah Permusyawaratan/Perwakilan untuk menghadirkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”.
Lanjutnya, jika melihat kondisi saat ini, “keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia, apakah sudah terwujud? Ternyata belum. Masih banyak
kesenjangan yang terjadi. Perlu dipastikan lagi bahwa keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia benar-benar hadir”.
Rahayu Saraswati membeberkan satu kasus di daerah tertentu
terkait pedagang yang menghasut komunitas mayoritas untuk tidak membeli
dagangan minoritas tersebut. Demikian juga, tegasnya cara pandang tentang gender
“cara pandang tentang peran gender masih dipandang dari sisi agama bukan dari
sisi budaya. Ini menjadi realita yang terjadi. Ketika pemahaman sila pertama
hanya untuk gologan agama tertentu, maka akan mempengaruhi dalam mengambil
kebijakan di pusat”.
“Komisi VIII DPR RI yang mengurus kebijakan perempuan, masih mengacu
pada agama bukan budaya. Bahkan ada usulan agar membuat HAM versi Indonesia,
hal ini menjadi aneh. Sebenarnya kebijakan itu harus mewakil seluruh rakyat
Indonesia, tapi wakilnya belum memiliki cara pandang yang sama” Pungkasnya.
Demikian juga sekolah “Sekolah yang bercokak Islam yang masuk
dalam Kementerian Agama disbanding yang hanya di kementerian pendidikan dan
kebudayaan akan mendapat dana lebih banyak dari sekolah yang lainnya”. Implementasi
Pancasila dan Budaya masih jauh dan belum terlaksana secara maksimal. Negara
belum hadir untuk hal tersebut. Para elit dan masyarakat harus saling
menghormati dan menghargai. Kasus pembacaan doa saja di Sidang MPR lalu menjadi
masalah. Sila pertama bukan mayoritas dan minoritas.
Dalam webindar ini, PEWARNA Indonesia menghadirkan lima
narasumber, namun pada saat pelaksanaan yang hadir hanya tiga orang saja, yaitu
Dr. H. Mardani Ali Sera, M.Eng. Anggota DPR RI Komisi II F-PKS, Sugeng Teguh
Santoso, Ketua Yayasan Satu Keadilan, Penasehat PEWARNA Indonesia, dan Rahayu
Saraswati Djojohadikusumo Bacalon Wakil Walikota Tangsel, Politisi GERINDRA,
Ketua Bidang Advokasi Perempuan DPP GERINDRA. Informasi yang didapatkan bahwa Dr. Hj. Siti Nur Azizah
Ma'ruf, SH., M.Hum. Bacalon Walikota Tangerang Selatan, tidak bisa hadir karena
ada rapat penting dengan Ketua Umum Partai Demokrat di waktu yang
bersamaan. Firman Djaya Daeli, Ketua
Dewan Pembina Puspolkam Indonesia, tidak bisa hadir dalam diskusi ini. Acara
ini dipandu oleh moderator Hotman J. Lumban Gaol (Hojot Marluga), Jurnalis
Pewarna Indonesia.
0 Response to "Implementasi Pancasila dan Budaya"
Posting Komentar